Sebagai Pendonor Saya Geram Dengan Kisruh Perebutan Ketum di PMI: JK Telah Bekerja Ikhlas, Pemerintah Harus Tegas Bersikap
PMI seharusnya mencerminkan kebersamaan, kekompakan dan sinergi dalam mencapai tujuan mulianya. Alih-alih memperlihatkan hal itu, organisasi ini malah mempertontonkan konflik internal yang memalukan
Oleh : Sugiyanto (SGY)
Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT) Yang Juga Pendonor Darah PMI
Beberapa hari terakhir, saya terkejut membaca berita tentang kisruh yang terjadi di tubuh Palang Merah Indonesia (PMI) terkait adanya musyawarah tandingan. Sebagai pendonor darah, saya merasa sangat aneh melihat organisasi sosial kemanusiaan yang seharusnya netral dan mandiri seperti PMI malah terjerat dalam dualisme kepemimpinan.
Tentang Organisasi nirlaba yang keberadaannya diakui secara internasional ini, semua orang tahu bahwa tujuan PMI didirikan adalah untuk meringankan penderitaan sesama akibat bencana, baik yang disebabkan oleh alam maupun ulah manusia, tanpa membedakan latar belakang korban.
Dengan kondisi tersebut, PMI seharusnya mencerminkan kebersamaan, kekompakan, dan sinergi dalam mencapai tujuan mulianya. Alih-alih memperlihatkan hal itu, organisasi ini malah mempertontonkan konflik internal yang memalukan. Sebagai pendonor, saya merasa sangat kecewa dan geram.
Demi memahami akar masalah, saya mencari tahu lebih jauh. Berdasarkan informasi yang ada, terungkap bahwa Musyawarah Nasional (Munas) XXII PMI telah berlangsung pada 8-9 Desember 2024 di Jakarta, diikuti 558 peserta dari berbagai perwakilan PMI pusat, provinsi, kabupaten/kota, serta Forum Relawan Nasional (Forelnas). Munas tersebut menghasilkan keputusan yang memperkuat kepercayaan terhadap Jusuf Kalla (JK) sebagai Ketua Umum PMI untuk periode 2024-2029.
Berdasarkan informasi dan data yang ada diketahui bahwa hasil verifikasi Tim Kredensial menunjukkan dukungan kuat untuk JK dengan total 320 suara, terdiri dari 287 dukungan lengkap dan 33 tidak lengkap.
Sementara itu, Agung Laksono hanya meraih 50 dukungan, dengan 32 suara lengkap dan 18 tidak lengkap. Berdasarkan Anggaran Rumah Tangga (ART) PMI, kandidat harus memperoleh minimal 20% dukungan untuk maju, namun Agung gagal memenuhi ambang batas tersebut. Dengan dukungan lebih dari 57%, JK pun ditetapkan secara aklamasi sebagai Ketua Umum.
Sayangnya, Agung Laksono tidak menerima hasil ini. Ia mengklaim telah memperoleh lebih dari 240 dukungan dan merasa berhak maju sebagai calon. Akibatnya, ia menggelar musyawarah tandingan pada hari yang sama dan membentuk kepengurusan baru. Agung bahkan berencana membawa hasil musyawarahnya ke Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) untuk disahkan.
Langkah Agung ini mendapat respons tegas dari JK, yang menyebut tindakan tersebut ilegal dan melanggar AD/ART PMI. JK juga melaporkan Agung ke pihak kepolisian serta memecat pendukungnya dari keanggotaan PMI. JK menegaskan bahwa PMI hanya boleh ada satu dalam satu negara, bukan dua.
Sejak pertama kali menjabat sebagai Ketua Umum PMI pada 2009, JK telah memimpin organisasi ini dengan prinsip netralitas dan fokus pada misi kemanusiaan. Ia memastikan keberlanjutan program-program strategis PMI, seperti layanan donor darah, tanggap darurat bencana, dan aksi-aksi kemanusiaan lainnya.
Kepemimpinan JK yang konsisten dan berorientasi pada pengabdian telah mendapat dukungan luas dari mayoritas peserta Munas.
Sayangnya, perbedaan pandangan dalam Munas kali ini menciptakan konflik yang tidak perlu. Langkah menggelar musyawarah tandingan hanya menciptakan perpecahan yang merugikan misi kemanusiaan PMI.
Bisa Jadi Sorotan Internasional, Pemerintah Perlu Cepat Bersikap atas Kisruh di PMI
Dalam situasi ini, pemerintah harus segera mengambil langkah tegas untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di Palang Merah Indonesia (PMI). Sebagai organisasi yang memegang peran vital dalam misi kemanusiaan, PMI membutuhkan stabilitas internal dan dukungan penuh agar dapat melaksanakan program-programnya tanpa hambatan.
Apabila konflik ini dibiarkan berlarut-larut, bukan hanya kepercayaan publik dalam negeri yang akan terganggu, tetapi juga kredibilitas PMI di mata dunia. Hal ini dapat berdampak serius pada persepsi internasional terhadap kemampuan pemerintah Indonesia dalam mendukung dan mengelola misi kemanusiaan global.
Lebih dari itu, kisruh di PMI berpotensi mencoreng nama baik pemerintah Indonesia di panggung internasional. Oleh karena itu, langkah penyelesaian yang cepat, transparan, dan tegas sangat diperlukan untuk memastikan keberlangsungan layanan kemanusiaan dan menjaga kehormatan bangsa.
Atas uraian tersebut, semua pihak sebaiknya menghormati hasil Munas XXII dan mendukung Jusuf Kalla (JK) dalam memimpin PMI. Saya meyakini bahwa selama memimpin PMI, JK hanya ingin bekerja dengan tulus dan iklas serta memastikan PMI bermanfaat bagi banyak orang.
Dengan demikian, saya berpendapat bahwa tidak seharusnya ada ruang untuk dualisme kepemimpinan dalam organisasi netral seperti PMI. Pemerintah juga harus segera bertindak dan bersikap tegas agar PMI tetap fokus pada misinya. Semangat kebersamaan harus terus dijaga demi manfaat yang lebih besar bagi masyarakat Indonesia.